PARIS (RIAUPOS.CO) -- Kekerasan terhadap perempuan, baik fisik maupun verbal, terjadi setiap detik. Tidak hanya di negara miskin dan berkembang, tapi juga di negara-negara maju. Perang sudah dikobarkan, namun kemenangan masih jauh dari genggaman.
"Dia membunuhku," Itu adalah kalimat terakhir yang terlontar dari mulut Julie Douib saat Maryse Santini, tetangganya, menemukan ibu dua anak tersebut dalam kondisi bersimbah darah Maret lalu. Dua timah panas bersarang di dada dan lengannya. Hanya dalam hitungan detik, Douib mengembuskan napas terakhir. Dia tewas di tangan ayah anak-anaknya.
Douib sudah berpisah dari pasangan hidupnya tersebut. Dia juga sudah belasan, bahkan mungkin puluhan kali, lapor polisi atas kekerasan yang diterimanya. Hanya dua hari sebelum kematiannya, dia juga menelepon polisi dan memberi tahu orang yang pernah dicintainya itu memiliki lisensi kepemilikan senjata api. Douib takut dirinya akan ditembak. Namun, polisi tidak merespons ketakutannya.
"Nyonya maaf, lisensinya tidak bisa dicabut kecuali dia mengacungkan senjatanya kepadamu," papar ayah Douib menirukan jawaban petugas kepolisian. 48 jam kemudian, senjata yang dimaksud betul-betul diarahkan dan ditembakkan ke Douib.
Douib hanya satu di antara ratusan perempuan di Prancis yang tewas setiap tahun di tangan suami, mantan suami, pasangan hidupnya. Dilansir Agence France-Presse, sepanjang tahun ini setidaknya ada 116 perempuan di Prancis dari berbagai rentang usia yang dibunuh suami, mantan suami, pasangan, kakak lelaki, ataupun putranya.(c10/dos)